Standard Pengelolaan Pendidikan, Bidang Keuangan dan Pembiayaan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah (Permendiknas No. 19 Tahun 2007) yaitu : Butir b, 4 bahwa “pembukuan semua penerimaan dan pengeluaran serta penggunaan anggaran, untuk dilaporkan kepada komite sekolah/madrasah, serta institusi di atasanya”; Butir d bahwa “ pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah/madrasah disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah/madrasah untuk menjamin tercapainya pengelolaan dana secara transparan dan akuntabel”.
Kurang transparannya pengelolaan keuangan sekolah, berpotensi terjadinya penyalahgunaan dana investasi sekolah untuk kepentingan pribadi atau oknum-oknum tertentu dalam lingkungan lembaga pendidikan. Oknum-oknum tersebut adalah kepala sekolah, bendahara sekolah dan komite sekolah. Sementara warga sekolah yang lain seperti guru, karyawan, siswa dan masyarakat tidak bisa berbuat banyak. Sehingga sering mendapatkan kritik pedas dari warga masyarakat yang peduli dengan dunia pendidikan. Namun kritikan tersebut membuat oknum tidak menjadi gentar, tetapi malahan semakin merajalela karena masyarakat dianggapnya bodoh dan tidak tahu manajemen keuangan.
Peran komite sekolah adalah melakukan evaluasi dan pengawasan dalam pengelolaan dana sekolah dan bersama pihak sekolah melaporkan serta mempertanggungjawabkan kepada otoritas yang lebih tinggi dan masyarakat umum. Namun peran komite lebih condong/memihak pada sekolah dari pada membela kepentingan siswa dan masyarakat.
Digulirkannya program sekolah gratis untuk SD dan SMP Negeri mulai Januari 2009, membuat pihak sekolah berteriak-teriak lantang dengan alasan dana yang alokasikan pemerintah tidak cukup. Padahal pemerintah sudah memperhitungkan dengan seksama bahwa dana tersebut cukup untuk biaya operasional pendidikan. Mereka yang berteriak-teriak itu adalah oknum yang sudah biasa menikmati dana investasi sekolah. Sebelum digulirkan program sekolah gratis, dana investasi sekolah bisa untuk bancakan oknum-oknum di sekolah dan sekarang oknum-oknum tersebut gigit jari sambil menahan nyerinya sakit kepala.
Akhirnya kegiatan-kegiatan yang dianggap tidak penting ditiadakan dengan alasan dana tidak ada. Padahal kegiatan tersesbut sangat disukai siswa seperti ekstrakurikuler Pramuka, PMR, KIR, Komputer dan lain sebagainya. Sehingga siswa hanya dijejali ilmu-ilmu yang bersifat pengetah uan (kognitif). Pembelajaran dari aspek afektif dan psikomotorik tidak pernah tersentuh, dengan demikian siswa mengalami kejenuhan, bosan, dan tidak nyaman lagi di sekolah. Tentunya siswa mudah terserang stress, depresi, tertekan dan mudah tersinggung. Didalam kelas siswa biasa berkelai, melawan guru atau menciptakan kesibukan sendiri dari pada mendengarkan mengikuti pelajaran. Siswa mestinya memecahkan suatu masalah dalam pelajaran tetapi siswa sekarang lebih senang memecahkan kaca-kaca jendela kelas.
Guru-guru Indonesia belum mampu berkompetensi dalam era pengetahuan. Guru lebih banyak menjadi konsumen dari pada produsen, sehingga kualitas pembelajaran pada perserta didik tidak siap.
Departemen Pendidikan Nasional akan merumuskan 3 kompetensi kunci untuk melengkapi system kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang saat ini sedang diimplementasikan di sekolah-sekolah. E-learning adalah model pembelajaran elektronik, yang mengusung teknologi digital sebagai medium utama proses pembelajarannya. E-learning juga disebut sebagai bentuk pembelajaran yang diperkaya oleh teknologi digital. Penguasaan Teknologi Informasi tunjang profesionalitas guru. Peran TI sangat strategis untuk menunjang proses kegiatan belajar mengajar di kelas maupun dalam bidang majemen system pendidikan.
Hal tersebut menunjukan bahwa baik-buruknya kualitas pendidikan seolah-olah ditentukan pada metode yang dipakai guru dalam mengajar. Tak henti-hentinya pakar-pakar pendidikan berteriak lantang menyuarakan pentingnya metode pembelajaran. Guru selalu menjadi obyek penderita bagi dunia pendidikan. Guru selalu pada pihak yang lemah namun dituntut harus menjadi seorang hero yang mampu merubah bangsa yang terbelakang menjadi bangsa yang superior.
Kurang transparannya pengelolaan keuangan sekolah, khususnya untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, sering diteriakan masyarakat melalui media masa. Tidak transparannya pengelolaan keuangan, berakibat banyak dana investasi pendidikan yang tidak sesuai peruntukannya. Guru dan karyawan diharuskan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat yang tidak diberi uang imbalan, sehingga guru tersebut manjadi malas bekerja dan tidak produktif. Fasilitas pendidikan dan alat peraga pembelajaran tidak pernah diadakan, sehingga pembelajaran hanya berkisar tulis-menulis yang monoton dan membosankan siswa.
Yang tahu larinya dana pendidikan adalah bendahara sekolah dan oknum yang lain. Sementara guru, siswa dan masyarakat tidak tahu, karena tidak adanya laporan dana investasi secara transparan. Sementara peran komite terdistorsi (peran dan fungsi komite membuat kepercayaan masyarakat semakin tipis). Seolah-olah peran komite sebagai pengacaranya sekolah atau selalu berpihak pada sekolah.
Mungkin dugaan masyarakat itu benar, bahwa dana pendidikan ada yang disalahgunakan. Kalau memang benar mestinya peran penegak hukum sangat diharapkan untuk menertibkan sekolah-sekolah dalam penggunaan dana pendidikan. Kenyataan di lapangan, bahwa tak satupun sekolah yang di audit baik oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) maupun BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan).
Dana investasi sekolah sangatlah cukup untuk kemajuan pendidikan. Sumber dana investasi berupa BOS dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dana rutin dari pemerintah dan dana dari donatur. Namun sekolah tersebut tidak ada tambahan fasilitas pendidikan yang berarti dan guru semakin tidak produktif karena tidak pernah menikmati hasil kerja kerasnya alias guru hanya kerja gotong-royong seperti relawan.
Apabila pengelolaan dana investasi sekolah benar-benar sesuai peruntukannya, sekolah-sekolah di Indonesia sudah lebih maju dan mampu bersaing dengan dunia pendidikan di Negara-negara Eropa. Namun sebaliknya, pelajar Indonesia sekarang ini sangat jauh ketinggalan alias gaptek (gagap teknologi) dengan negara-negara Eropa. Berarti salah satu yang menghambat kemajuan pendidikan Indonesia adalah pengelolaan dana investasi pendidikan kurang optimal.